Menperin Sebut RI Bisa Hemat Rp 147 T dari Proyek Kilang Raksasa 1 Juta Barel

Sedang Trending 3 hari yang lalu

Jakarta -

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung upaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membangun beberapa kilang minyak dengan full kapasitas 1 juta barel per hari. Upaya itu bertujuan meningkatkan ketahanan energi dan industri, terutama pada industri petrokimia.

Apalagi, kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, selama ini industri petrokimia memiliki peranan sangat penting dalam memasok kebutuhan bahan baku ke sejumlah sektor industri lainnya.

"Kami sangat mendukung pembangunan refinery ini guna penguatan hulu di sektor petrokimia dalam rangka menuju substitusi impor, serta dapat berdampak positif pada penguatan nilai tambah dan investasi, hingga penyerapan tenaga kerja," kata Agus dalam keterangan tertulis, Kamis (13/3/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agus menjelaskan, pembangunan kilang minyak ini akan mengoptimalkan produksi nafta yang menjadi kebutuhan bahan baku bagi sejumlah sektor industri. Menurutnya nafta adalah "mother of petrochemical", yang apabila dapat diproduksi di dalam negeri maka bisa menghasilkan penghematan.

Total penghematan dari impor nafta dan produk-produk petrokimia sebesar US$ 9 miliar atau Rp 147 triliun (kurs Rp 16.400) per tahun. Selain itu pembangunan kilang juga berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produksi nasional untuk kemandirian bahan baku farmasi.

Oleh karena itu, selain untuk mewujudkan visi pemerintah dalam upaya mempercepat programme hilirisasi, pembangunan kilang minyak juga dipercaya menjadi crippled changer dalam mendorong pertumbuhan industri petrokimia di Indonesia.

"Tentu kami akan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi terkait adanya penambahan refinery ini. Pembangunan refinery tersebut akan disebar di beberapa wilayah Indonesia," ungkapnya.

Perlu diketahui, nafta merupakan salah satu fraksi minyak bumi yang dapat digunakan sebagai bahan baku bensin atau petrokimia. Fraksi ini dihasilkan terutama melalui proses distilasi minyak mentah di Crude Distillation Unit (CDU). Saat ini, produksi nafta untuk 1 juta ton per tahun memerlukan sekitar 3,03 juta ton per tahun minyak mentah.

"Dalam proses cracking tersebut, dari minyak mentah itu akan dihasilkan minimal 20 persen nafta. Ini juga tergantung dari proses pemanasan atau titik didihnya," ujar Menperin.

Sementara itu, hingga kini Indonesia hanya memiliki enam kilang minyak, dan kesemuanya itu merupakan investasi yang sudah berumur sangat lama. Enam kilang minyak tersebut baru mampu memproduksi nafta sebesar 7,1 juta ton per tahun.

Sedangkan kebutuhan nafta nasional saat ini mencapai 9,2 juta ton per tahun, sehingga masih dibutuhkan importasi sebanyak 2,1 juta ton. Artinya, diperlukan peningkatan kapasitas produksi nafta di dalam negeri.

Saat ini terdapat beberapa proyek besar petrokimia yang segera beroperasi dan membutuhkan nafta kurang lebih 8 juta ton per tahun. Kemenperin telah mengusulkan ke Kementerian ESDM untuk membangun kilang minyak baru di wilayah Tuban, yang saat ini telah memiliki pabrik petrokimia, yaitu PT TPPI.

PT TPPI saat ini memiliki dua mode produksi, yaitu petrokimia dan bahan bakar. PT TPPI didesain untuk menjadi komplek petrokimia yang terintegrasi mulai dari produk-produk olefin dan produk-produk aromatis yang banyak digunakan untuk bahan baku tekstil dan farmasi serta bahan pelarut.

Sedangkan, fasilitas nafta menjadi olefin belum ada. Sehingga untuk mencapai integrasi perlu didirikan olefin halfway yang berbahan baku nafta di sini. "Artinya, Tuban ini merupakan pusat industri besar, dengan sektor utama meliputi semen, petrokimia, minyak dan gas, serta industri maritim," terang Menperin.

Hal tersebut sejalan dengan rencana PT Pertamina yang mengembangkan rencana proyek GRR, dan akan menjadi pabrik terintegrasi yang akan mengolah crude lipid menjadi BBM dan produk petrokimia yang memiliki nilai tambah tinggi.

(ily/ara)

Selengkapnya
Sumber finance
finance